Jumat, 15 Januari 2016

Makalah Gepeng (Gelandangan Pengemis)

 BAB I
PENDAHULUAN



1.1.  PENDAHULUAN


1.1.1.           PENTINGNYA PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS
Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan salah satu dampak negatif pembangunan, khususnya pembangunan perkotaan. Keberhasilan percepatan pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan pembangunan di wilayah pedesaan mengundang arus migrasi desa-kota yang antara lain memunculkan gepeng karena sulitnya pemukiman dan pekerjaan di wilayah perkotaan dan pedesaan. Dampak tersebut membuat masalah ini menjadi sangat sulit untuk dihindari. Disini terjadi semacam hubungan sebab-akibat, yaitu, ramainya gelandangan dan pengemis ini terjadi karena tingginya angka pembangunan di kota, namun didesa sendiri sangat lambat bahkan tidak ada, yang menyebabkan masyarakat miskin pergi ke kota dan pada akhirnya menjadi gelandangan dan pengemis.
Dengan berkembangnya gepeng maka diduga akan memberi peluang munculnya gangguan keamanan dan ketertiban, yang pada akhirnya akan menganggu stabilitas sehingga pembangunan akan terganggu, serta cita-cita nasional tidak dapat diwujudkan. Jelaslah diperlukan usaha-usaha penanggulangan gepeng tersebut. Ini terjadi karena gelandangan dan pengemis ini pada hakikatnya erat terkait dengan masalah ketertiban dan keamanan di daerah perkotaan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial, tercatat pada tahun 2008, jumlah gelandangan mencapai 25.169 orang dan jumlah pengemis mencapai 35.057 orang. Data yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya, mengingat pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka yang tinggi. Sementara itu, berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial, tercatat pada tahun 2010, jumlah gelandangan mencapai 25.662 orang, jumlah pengemis mencapai 175.478 orang.
Data yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya, mengingat pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka yang tinggi. Dapat dipastikan angka ini seperti fenomena puncak gunung es (tips of iceberg) di mana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih tinggi. Angka gelandangan dan pengemis juga diperkirakan terus naik, mengingat daya tarik kota yang semakin kuat bagi orang-orang desa dan semakin susahnya mencari lapangan pekerjaan di desa.
Berbagai laporan menunjukkan bagaimana pemerintah kota, sebagai contohnya Jakarta, telah mengeluarkan berbagai peraturan daerah, seperti Perda DKI No. 11 Tahun 1988 tentang ketertiban umum, dan Perda DKI No. 8 Tahun 2007 yang melarang orang untuk menggelandang, mengemis dan melakukan aktivitas yang mengganggu ketertiban di jalan, termasuk larangan membeli pedagang asongan dan memberi sedekah pada pengemis di jalanan di Jakarta. Pemerintah DKI juga telah mengadakan kerjasama lintas sektoral yang melibatkan berbagai instansi seperti Tramtib, Kepolisian, maupun Dinas Sosial melalui operasi yustisi dalam penanganan gelandangan, untuk selanjutnya mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial di panti-panti pemerintah. Namun demikian, permasalahan gelandangan dan pengemis masih tetap merebak di kota Jakarta dan kota-kota lainnya.
Tampaknya gepeng tetap menjadi masalah dari tahun ke tahun, baik bagi wilayah penerima (perkotaan) maupun bagi wilayah pengirim (pedesaan) walaupun telah diusahakan penanggulangannya secara terpadu di wilayah penerima dan pengirim. Setiap saat pasti ada sejumlah gepeng yang kena razia dan dikembalikan ke daerah asal setelah melalui pembinaan.
Penanggulangan gepeng akan mampu mewujudkan stabilitas nasional, khususnya stabilitas dalam bidang pertahanan dan keamanan sehingga diperlukan suatu studi yang mampu menggambarkan secara utuh.


1.1.2.           TUJUAN
Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai UAS mata kuliah Analisi Masalah Sosial di STKS bandung.






BAB II
URAIAN



2.1.  URAIAN


2.1.1.           PENGERTIAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS
1.         Menurut Departemen Sosial R.I (1992), gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. “Pengemis” adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang.
2.         Menurut PP No. 31 Tahun 1980, Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta hidup mengembara ditempat umum. Sedangkan Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain.
3.         Ali, dkk,. (1990) menyatakan bahwa gelandangan berasal dari gelandang yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Mengutip pendapat Wirosardjono maka Ali, dkk., (1990) juga menyatakan bahwagelandangan merupakan lapisan sosial, ekonomi dan budaya paling bawah dalam stratifikasimasyarakat kota. Dengan strata demikian maka gelandangan merupakan orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap atau layak, berkeliaran di dalam kota, makan-minum serta tidur di sembarang tempat.
4.        Menurut Muthalib dan Sudjarwo dalam Ali, dkk., (1990) diberikan tiga gambaran umum gelandangan, yaitu (1) sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh masyaratnya, (2) orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, dan (3) orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan.
5.        Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 : 143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.

Dengan mengutip definisi operasional Sensus Penduduk maka gelandangan terbatas pada mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, atau tempat tinggal tetapnya tidak berada pada wilayah pencacahan. Karena wilayah pencacahan telah habis membagi tempat hunian rumah tinggal yang lazim maka yang dimaksud dengan gelandangan dalam hal ini adalah orang-orang yang bermukim pada daerah daerah bukan tempat tinggal tetapi merupakan konsentrasi hunian orang-orang seperti di bawah jembatan, kuburan, pinggiran sungai, emper took, sepanjang rel kereta api, taman, pasar, dan konsentrasi hunian gelandangan yang lain.
Pengertian gelandangan tersebut memberikan pengertian bahwa mereka termasuk golongan yang mempunyai kedudukan lebih terhormat daripada pengemis. Gelandangan pada umumnya mempunyai pekerjaan tetapi tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (berpindah-pindah). Sebaliknya pengemis hanya mengharapkan belas kasihan orang lain serta tidak tertutup kemungkinan golongan ini mempunyai tempat tinggal yang tetap.
Dengan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan kehidupan normal yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum serta mengganggu Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan. Sedangkan Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan dari orang lain serta mengganggu ketertiban umum.


2.1.2.           CIRI-CIRI GELANDANGAN DAN PENGEMIS
Ciri-ciri dari gepeng (gelandangan dan pengemis) yaitu :
1.    Tidak memiliki tempat tinggal.
Kebanyakan dari gepeng dan pengemis ini tidak memiliki tempat hunian atau tempat tinggal. Mereka biasa mengembara di tempat umum. Tidak memiliki tempat tinggal yang layak huni, seperti di bawah kolong jembatan, rel kereta api, gubuk liar di sepanjang sungai, emper toko dan lain-lain
2.    Hidup di bawah garis kemiskinan.
Para gepeng tidak memiliki penghasilan tetap yang bisa menjamin untuk kehidupan mereka ke depan bahkan untuk sehari-hari mereka harus mengemis atau memulung untuk membeli makanan untuk kehidupannya.
3.    Hidup dengan penuh ketidakpastian.
Para gepeng hidup mengelandang dan mengemis di setiap harinya. Kondisi ini sangat memprihatikan karena jika mereka sakit mereka tidak bisa mendapat jaminan sosial seperti yang dimiliki oleh pegawai negeri yaitu ASKES untuk berobat dan lain lain.
4.    Memakai baju yang compang camping.
Gepeng biasanya tidak pernah menggunakan baju yang rapi atau berdasi melainkan baju yang kumal dan dekil.
5.    Tidak memiliki pekerjaan tetap yang layak, seperti pencari puntungrokok, penarik grobak.
6.    Tuna etika, dalam arti saling tukar-menukar istri atau suami, kumpulkebo atau komersialisasi istri dan lain-lainnya.
7.    Meminta-minta di tempat umum. Seperti terminal bus, stasiunkereta api, di rumah-rumah atau ditoko-toko.
8.    Meminta-minta dengan cara berpura-pura atau sedikit memaksa, disertai dengan tutur kata yang manis dan ibah.

Namun secara spesifik, Karakteristik Gepeng dapat dibagi menjadi :
·         Karakteristik Gelandangan :
1.    Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun, tinggal di sembarang tempat dan hidup mengembara atau menggelandang di tempat-tempat umum, biasanya di kota-kota besar.
2.    Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku kehidupan bebas/liar, terlepas dari norma kehidupan masyarakat pada umumnya.
3.    Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil sisa makanan atau barang bekas.

·         Karakteristik Pengemis :
1.    Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun.
2.    Meminta-minta di rumah-rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan (lampu lalu lintas), pasar, tempat ibadah dan tempat umum lainnya.
3.    Bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan ; berpura-pura sakit, merintih dan kadang-kadang mendoakan dengan bacaan-bacaan ayat suci, sumbangan untuk organisasi tertentu.
4.    Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur dengan penduduk pada umumnya.

Menurut Soetjipto Wirosardjono mengatakan ciri-ciri dasar yang melekat pada kelompok masyarakat yang dikatagorikan gelandangan adalah:”mempunyai lingkungan pergaulan, norma dan aturan tersendiri yang berbedadengan lapisan masyarakat yang lainnya, tidak memliki tempat tinggal, pekerjaandan pendapatan yang layak dan wajar menurut yang berlaku memiliki sub kultur khas yang mengikat masyarakat tersebut


2.1.3.           KLASIFIKASI GELANDANGAN DAN PENGEMIS
Masalah gelandangan dan pengemis masuk dalam beberapa klasifikasi masalah-masalah social, diantaranya adalah :
1.        Masalah Sosial Patologis
2.        Masalah Sosial kontemporer-modern
3.        Masalah Sosial manifest




2.1.4.           ANALISIS PENYEBAB
Permasalahan sosial gelandangan dan pengemis merupakan akumulasi dan interaksi dari berbagai permasalahan seperti hal hal kemiskinan, pendidikan rendah, minimnya keterampilan kerja yang dimiliki, lingkungan, sosial budaya, kesehatan dan lain sebagaianya. Masalah ini merupakan salah satu Masalah Sosial Strategis, karena dapat menyebabkan beberapa masalah lainnya dan juga bersifat penyakit di masyarakat.
Ada 3 pokok penyebab permasalahan dari masalah Gelandangan dan Pengemis ini yang dapat diuraikan sebagai berikut :

1.        Urbanisasi dan pembangunan wilayah yang timpang
Hal ini adalah sebuah hasil negative dari pembangunan yang sangat pesat di daerah perkotaan. Masyarakat desa pada umumnya tertarik dengan kehidupan modern kota yang sangat memukau tanpa melihat sisi jeleknya. Mereka biasanya termotivasi dengan pekerjaan dengan gaji yang tinggi di kota tanpa melihat potensi yang terbatas dalam dirinya. berdasarkan kemajuan tersebut yang menyebabkan masyarakat desa menuju kota-kota besar. Mereka yang menjadi kalah saing dengan penduduk kota yang bisa bersaing dengan kemajuan tersebut, putus asa, malu pulang ke kampong halaman, akhirnya gelandangan dan pengemis di kota-kota besar lainnya.
Dalam pembangunan masyarakat di wilayah pedesaan sering dijadikan objek atau konsekuensi dari pembangunan, padahal sebelum melakukan perencanaan dan pembanguanan ada hal-hal yang harus dilalui untuk menghasilkan perencanaan dan pembanguan yang efektif dan berguna. Konsekuensi pembangunan itu memposisikan masyarakat sebagai objek pembangunan dan menganggap masyarakat akan beradaptasi sendiri terhadap perubahan-perubahan setelah pembangunan. Padahal hal tersebut sangat fatal akibatnya terhadap kaum bawah.
2.        Kemiskinan
Kemiskinan juga merupakan factor penting dalam penyebab bertambah banyaknya Gelandangan dan Pengemis. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, bahwa pada  September 2011, Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Mencapai 29,89 Juta Orang. Walaupun dari tahun ketahun berkurang, namun tetap saja angka ini sangat berpotensi angka menjadi angka Gelandangan dan Pengemis di Indonesia.

3.        Kebijakan pemerintah
Kebijakan-kebijakan pemerintah juga merupakan factor-faktor penyebab dari masalah Gelandangan dan Pengemis ini. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga terkadang dianggap tidak pro dengan rakyat. Berkaitan dengan Gelandangan dan Pengemis ada banyak peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan tentang ini, namun lebih berorientasi pada larangan-larangan mengemis ditempat umum, tapi bukan mengenai upaya-upaya dalam menangani masalah Gelandangan dan Pengemis ini. Pemerintah hanya menganggap masalah sosial bersumber dari individunya. Konsekuensi ini dapat membebaskan pemerintah dari "tuduhan" sebagai sumber masalah. Karena faktor penyebabnya adalah individual, maka upaya pemecahan masalah akan lebih banyak bersifat kuratif.
Ketiga faktor itu hanyalah embrio awal yang melahirkan gepeng, namun dalam perkembangannya faktor lahirnya gepeng selain faktor di atas, masalah gepeng juga berhubungan dengan budaya yang lahir dari komunitas yang lama terbentuk. Atau merupakan masalah yang dating dari akibat keturunan yang tidak dapat berkembang dalam menangani masalah-masalah utama dalam hidupnya.
Bisa diartikan juga bahwa Gepeng (Gelandangan dan Pengemis) telah berkembang menjadi sebuah gaya hidup (life style) bagi orang-orang miskin yang tidak berpendidikan, tidak memiliki life skill, dan orang-orang yang, orang-orang broken home, orang cacat dan pengangguran. Cara instan tersebut merupakan bentuk adaptasi masyarakat miskin terhadap konsekuensi pembangunan yang melahirkan masalah sosial.
Beberapa ahli mengungkapkan beberapa factor penyebab terjadinya Gepeng tersebut, yaitu factor internal dan eksternal, berikut adalah :
1.        Factor internal
Maksudnya adalah factor internal dan keluarga yang menyebabkan terjadinya Gepeng ini. Factor-faktor tersebut adalah :
·         kemiskinan individu dan keluarga; yang mencakup penguasaan lahan yang terbatas dan tidak produktif, keterbatasan penguasaan aset produktif, keterbatasan penguasaan modal usaha;
·         umur;
·         rendahnya tingkat pendidikan formal;
·         ijin orang tua;
·         rendahnya tingkat ketrampilan (“life skill”) untuk kegiatan produktif;
·         sikap mental.
2.        Factor eksternal
·         kondisi hidrologis;
·         kondisi pertanian;
·         kondisi prasarana dan sarana fisik;
·         akses terhadap informasi dan modal usaha;
·         kondisi permisif masyarakat di kota;
·         kelemahan
 Faktor-faktor penyebab ini dapat terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor yang lainnya.
Factor-faktor lain juga yang ikut menyebabkan terjadinya masalah ini adalah :
1.         Masalah kemiskinan.
Kemiskinan menyebabkan seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal dan menjangkau pelayanan umum sehingga tidak dapat mengembangkan kehidupan pribadi maupun keluarga secara layak.
2.         Masalah Pendidikan.
Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis relatif rendah sehingga menjadi kendala untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
3.         Masalah keterampilan kerja.
Pada umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
4.         Masalah sosial budaya.
Ada beberapa faktor sosial budaya yang mengakibatkan seseorang menjadi gelandangan dan pengemis.
5.         Rendahnya harga diri.
Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan tidak dimiliki rasa malu untuk minta-minta.
6.         Sikap pasrah pada nasib.
Mareka menganggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakukan perubahan.
7.         Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang.
2.1.5.           DAMPAK MASALAH GELANDANGAN DAN PENGEMIS
1.    Terhadap Individu
·         Tidak mendapat akses pendidikan
·         Tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan
·         Tidak dapat bersosialisasi dengan masyarakat luas
·         Tidak dapat memberikan aspirasi dalam demokrasi karena tidak memiliki KTP
·         Tidak dapat menerima bantuan dari pemerintah
2.    Terhadap Keluarga
·         Kepala keluarga tidak dapat memenuhi perannya sebagai kepala keluarga
·         Terjadi ketimpangan dalam keluarga
·         Timbul masalah baru dalam keluarga seperti kriminalitas
·         Tidak dapat memutuskan rantai kemiskinan keluarga karena anak tidak bias mendapat fasilitas pendidikan
3.    Terhadap Masyarakat
·         Gelandangan dan pengemis pada umumnya tidak memiliki tempat tinggal tetap, tinggal di wilayah yang sebanarnya dilarang dijadika tepat tinggal, seperti : taman taman, bawah jembatan dan pingiran kali. Oleh karna itu mereka di kota besar sangat mengangu ketertiban umum, ketenangan masyrakat dan kebersihan serta keindahan kota.
·         Gelandangan dan pengemis yang hidupnya berkeliaran di jalan jalan dan tempat umum, kebnayakan tidak memiliki kartu identitas (KTP/KK) yang tercatat di kelurahan (RT/RW) setempat dan sebagian besar dari mereka hidup bersama sebagai suami istri tampa ikatan perkawinan yang sah.
·         Maraknya gelandangan dan pengemis di suatu wilayah dapat menimbulkan kerawanan sosial mengagu keamanan dan ketertiban di wilayah tersebut.


2.1.6.           PROGRAM PELAYANAN/PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS
Ada banyak program-program yang diberikan pemerintah dalam menangani permasalahan Gelandangan dan pengemis ini. Kebijakan-kebijakan dari pemerintah dalam membatasi Gelandangan dan pengemis untuk berada di tempat-tempat umum juga merupakan salah satu programnya. Namun pada umumnya program ini tidak dapat membuat efek jera terhadap para Gelandangan dan pengemis.
Masyarakat menginginkan satu program yang benar-benar pro dengan rakyat dalam mengentaskan masalah ini, juga bagaimana untuk dapat mengembangkan masyarakat miskin untuk dapat hidup sejahtera agar masalah Gelandangan dan Pengemis ini tidak berulang.
Berikut adalah beberapa program yang telah ada, antara lain :
1.        Panti
Merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis dengan menyediakan sarana tempat tinggal dalam satu atap yang dihuni oleh beberapa keluarga.
2.        Liposos
Lingkungan Pondok Sosial (Liposos) merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis yang lebih mengedepankan sistim hidup bersama didalam lingkungan sosial sebagaimana layaknya kehidupan masyarakat pada umumnya.
3.        Transit home
Merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis yang bersifat sementara sebelum mendapatkan pemukiman tetap di tempat yang telah disediakan.
4.        Pemukiman
Merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis dengan menyediakan tempat tinggal yang permanen di lokasi tertentu.
5.        Transmigrasi
Merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis dengan menyediakan fasilitas tempat tinggal baru di lokasi lain terutama di luar pulau Jawa.
Dan beberapa program kebijakan pemerintah seperti larangan mengemis di tempat umum, operasi Yustisi di Jakarta bagi orang-orang yang tidak memiliki KTP yang berpotensi menjadi Gelandangan dan Pengemis, dan program-program lainnya. Program lain adalah dalam bentuk penguatan ekonomi keluarga dan peningkatan pendidikan.


2.1.7.           POTENSI DAN SUMBER
Ada banyak potensi dan sumber yang dapat dikembangkan dari Gelandangan dan Pengemis. Potensi terbesar yang dapat digali adalah adanya niat dari Gelandangan dan Pengemis itu sendiri untuk berhenti dan mencoba untuk sejahtera. Potensi ini merupakan awal dari Pekerja Sosial untuk bisa menangani masalah ini bersama dengan Pemerintah.
Berikut beberapa potensi yang dapat digali dalam diri Gelandangan dan Pengemis serta sumber-sumber yang dapat digunakan :
1.    Keinginan untuk sejahtera
Sebagian besar dari Gelandangan dan Pengemis memiliki pikiran untuk hidup sejahtera. Kendalai selama ini adalah keran merka tidak dapat mengakses sumber-sumber tersebut. Dalam hal ini, Gelandangan dan Pengemis dapat diberikan pemahaman bahwa ketika mereka berusaha, maka pasti meeka berhasil, bukan dengan hanya bermalas-malasan.
2.    Adanya niat untuk bekerja keras
Gelandangan dan Pengemis pada dasaranya memiliki niat untuk bekerja yang tinggi, namum mereka terbentur pada skill mereka dalam bekerja dan kurangnya pendidikan. Gelandangan dan Pengemis ingin pekerjaan yang layak namuan itu mustahil karena semakin banyaknya mesin-mesin sehingga tenaga manusia semakin tidak dipergunakan. Padahal mereka ingin bekerja apa saja.
3.    Rasa persatuan yang tinggi sesama gelandangan dan pengemis
Sesama Gelandangan dan Pengemis memiliki ikatan seperti rasa saling tolong-menolongsehingga dapat digunakan untuk mengkoordinasi sesama Gelandangan dan Pengemis agar dapat dikembangkan dalam bentuk kelompok.
4.    Keinginan untuk kembali ke kampung halaman
Kebanyakan dari Gelandangan dan pengemis memiliki keinginan untuk pulang kembali ke kampung halaman. Masalah tersebut terbentur pada masalah keuagan untuk pulang ke kampung, padahal desa sangat kaya akan sumber yang dapat dikembangkan. Ketika ada peluang untuk potensi ini, mereka dapat dipulangkan ke kampung sehingga gelandangan dan pengemis dapat berkurang.
5.    Bakat yang ada pada diri Gelandangan dan Pengemis
Bakat seperti menyanyi bermain music dan sebagainya dapat diasah dari klien, dari bakat-bakat tersebut bias ditemukan hal-hal yang dapat menguatkan kehidupan klien.
6.    Relasi dengan keluarga
Hubungan antara keluarga besar klien lainnya juga penting untuk menemukan sumber yang dapat membantu klien dalam meningkatkan hidupnya.

Ada beberapa system sumber yang dapat dihubungkan dengan gelandangan dan pengemis, seperti :
1.    Dinas Sosial
Untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut diperlukan dinas social agar dapat memberikan penyuluhan dan melaksanakan program-program pemerintah dalam menangani maslah tersebut.
2.    Dinas perhubungan
Dinas perhubungan juga harus jelas dalam penanganan isu-isu perpindahan masyarakat desa ke kota yang semakin membludak. Dinas perhubungan sebaiknya membatasi orang dari desa yang tidak jelas statusnya menuju kota besar. Dinas perhubungan juga dapat digunakan untuk memulangkan sejumlah gelandangan dan pengemis tersebut kembali ke kampung halamannya.
3.    BPS
BPS harusnya memberikan data yang actual tentang kemiskinan agar dapat diprediksi dan potensi bertambahnya Gelandangan dan Pengemis, juga agar masyarakat miskin tersebut dapat menerima bantuan-bantuan dari pemerintah.
4.    Dinas Pendidikan
Dinas pendidikan diharapkan memberikan kesempatan untuk kepada masyarakat miskin terutama Gelandangan dan Pengemis untuk dapat mengakses pendidikan agar dapat mendapatkan pendidikan yang layak untuk meningkatkan kesejahteraannya.


2.1.8.           PENDEKATAN DAN PEMECAHAN MASALAH
Solusi dari permasalahan gelandangan dan pengemis yaitu dengan cara rehabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis yaitu proses pelayanan dan rehabilitasi sosial yang terorganisasi dan terencana, meliputi usaha-usaha pembinaan fisik, bimbingan mental sosial, pemberian keterampilan dan pelatihan kerja untuk penyaluran ke tengah-tengah masyarakat.
Selain itu, tujuan  dari  proses  rehabilitasi  adalah membuat  seorang menyadari  potensi-potensinya dan  selanjutnya  melalui  sarana  dan  prasarana  yang  diberikan  kepadanya  berusaha  untuk mewujudkan  atau mengembangakan  potensi-potensi  tersebut  secara maksimal  untuk  dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal. Menurut Nitimihardja (2004) Rehabilitasi sosial merupakan upaya yang bertujuan untuk mengintegrasikan seseorang yang mengalami masalah sosial ke dalam kehidupan masyarakat  di mana dia berada. Pengintegrasian tersebut dapat dilakukan melalui upaya peningkatan  penyesuaian diri, baik terhadap keluarga, komunitas maupun pekerjaannya. Berdasarkan  model pelayanan maka  pelayanan rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis dibagi 3 (tiga) model (Waluyo, 2002 : 35) yaitu :

1.    Sistem non Panti,
model ini memberikan pelayanan di luar panti/tidak ditampung dalam asrama. Para  klien  mendapat  bimbingan  sosial, keterampilan dan bantuan dalam masyarakatnya masing-masing. Sistem ini sangat terbuka dan memberikan kebebasan para klien untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya, namun kontrol dan monitoring terhadap semua kegiatan rehabilitasi sulit dilakukan, termasuk kontrol terhadap penggunaan bantuan stimulus dan bantuan modal lainnya.
2.    Sistem Panti
merupakan suatu model pelayanan kesejahteraan sosial secara  langsung. Pelayanan yang diberikan relatif intensif karena penyandang masalah kesejahteraan sosial ditempatkan dalam suatu rumah/panti sehingga secara teknis  mudah melakukan bimbingan, pembinaan, pemecahan masalah juga dilakukan di dalam panti dan klien terisolasi dalam panti dan tidak dapat berinteraksi sosial secara bebas dengan masyarakat sekitarnya.
3.    Sistem Lingkungan Pondok Sosial (liposos)
sistem pembinaan penyandang  masalah kesejahteran sosial yang bersifat konfrehensif, integratif, dimana dalam  kesatuan lingkungan sosial. Model sistem ini mencoba menjawab kelemahan dan kekurangan yang ada dalam kedua sistem sebelumnya (sistem panti dan non panti). Dalam sistem ini para klien diberi kebebasan untuk berinteraksi dan berelasi dengan sesama klien yang tinggal di lingkungan panti maupun dalam masyarakat di luar  panti, meskipun mereka tetap ditempatkan dalam unit-unit asrama di lingkungan panti. Sasaran klien dalam sistem ini biasanya suatu keluarga yang terdiri ayah, ibu, anak yang disebut keluarga binaan sosial (KBS). Sistem ini dibentuk berdasarkan keputusan Menteri Sosial No. 7 tahun 1984 tentang Pola Operasional rehabilitasi gelandangan dan pengemis.

Dalam kegiatan rehabilitasi memiliki tujuan, fungsi dan yaitu :
1.    Tujuan dari pelayanan rehabilitasi sosial pada gelandangan dan pengemis yaitu :
·         Gelandangan dan pengemis mampu merubah cara hidup dan cara mendapatkan penghasilan yang sesuai dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat.
·         Gelandangan dan pengemis dapat dijangkau dan mau mengikuti program pelayanan dan rehabilitas sosial.
·         Gelandangan dan penemis mampu menjalankan fungsi dan peran sosialnya di masyarakat secara wajar.
2.    Fungsi :
·         Menumbuhkan kesadaran gelandangan dan pengemis tentang pentingnya program pelayanan dan rehabilitasi sosial.
·         Membantu gelandangan dan pengemis untuk mampu melakukan kegiatan-kegitan yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari.
·         Membantu gelandangan dan pengemis agar mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.
·         Membantu gelandangan dan pengemis unuk mengembangkan potensinya.
·         Membantu gelandangan dan pengemis untuk berprilaku normatif.

Dalam penanganan masalah Gelandangan dan Pengemis ini ada banyak pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan, seperti :
1.    Pendekatan Agama
Pendekatan ini bersifat individual dalam arti sangat berhubungan dengan keyakinan masing-masing orang terhadap ajaran agamanya . Semakin orang yakin akan ajaran agamanya, semakin pendekatan ini effektif kegunaannya. Melalui pendekatan agama diajarkan bahwa masalah sosial timbul bila terjadi pelanggaran terhadap norma-norma agamanya. Pendekatan ini lebih terasa keeffektifannya dalam kerangka preventif dengan cara penanaman nilai nilai agama sejak dini dari tiap keluarga dalam masyarakat. Jadi agama diharapakan dapat menjadi filter dalam kehidupan bermasyarakat dan mencegah terjadinya pelanggaran atas norma-norma.
2.    Pendekatan Hukum
Pendekatan hukum biasanya ia berlaku bagi semua anggota masyarakat dimana ia bertempat tinggal dan hukum tersebut diberlakukan. Pendekatan ini sanksinya lebih jelas karena mengacu pada peraturan atau norma yang disahkan, misalnya hukuman bagi pelaku kejahatan membunuh dihukum penjara sekian tahun, pelaku kejahatan korupsi dihukum sekian tahun dst. Dengan demikian pendekatan hukum memandang bahwa masalah sosial terjadi. Pendekatan ini bisa besifat preventif dalam arti masalah sosial dapat dicegah melalui upaya sosialisasi norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat maupun bersifat kuratif atau rehabilitatif dalam arti terhadap pelaku pelanggar norma hukum akan diberikan sanksi tertentu dan diadakan pembinaan agar dia tidak lagi melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap norma hukum. Mereka yang berperan dalam pendekatan ini antara lain adalah para penegak hukum maupun aparat pemerintah yang berwajib.


BAB III
PENUTUP
3.1.               KESIMPULAN
Perilaku menggepeng erat kaitannya dengan urbanisasi, dan urbanisasi erat kaitannya dengan adanya kesenjangan pembangunan wilayah pedesaan dan perkotaan. Semasih adanya kesenjangan ini maka urbanisasi akan sulit dibendung dan akan memberi peluang munculnya kegiatan sector informal seperti kegiatan menggepeng.
Pada hakikatnya tidak ada norma social yang mengatur perilaku menggepeng. Kegiatan menggepeng umumnya dilakukan ibu-ibu yang disertai dengan anak-anaknya. Mereka umumnya relative muda dan termasuk dalam tenaga kerja yang produktif.
Pendidikan keluarga gepeng pada umumnya rendah. Ini disebabkan karena susahnya masyarakat miskin dalam mengakses pendidikan, juga termasuk karena anak usia sekolah terpaksa menggelandang dan mengemis untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akhirnya kebodohan dan kemiskinan pun seakan menjadi sebuah turunan pada keluarga tersebut.
Adanya peran aktif dari berbagai kalangan dalam hal ini dalam pengentasan kemiskinan dan juga masalah Gelandangan dan pengemis ini. Ada beberapa langkan yang mungkin dapat diterapkan antara lain adalah tetap menertibkan para Gelandangan-gelandangan dan Pengemis tersebut dan berusaha untuk mengembalikan ke kampung halamannya. Berikutnya adalah mengembangkan usaha-usaha dari desa asal agar tidak terulang permasalahan tersebut, atau dalam kata lain tidak membuat semacam ketimpangan pembangunan antara kota dan desa.
pemenuhan kebutuhan spiritual untuk memelihara sikap idealis yang telah ada di masyarakat.










3.2.               DAFTAR PUSTAKA

Ali Marpuji, dkk., (1990). Gelandangan di Kertasura, dalam Monografi 3.Lembaga Penelian Universitas Muhammadiyah. Surakarta

Indonesia, Republik (1992). Peraturan Pemerintah No. 31 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan Bidang Tugas Rehabilitasi Sosial. Jakarta.