PENDAHULUAN
1.1. PENDAHULUAN
1.1.1.
PENTINGNYA PENANGANAN GELANDANGAN DAN
PENGEMIS
Gelandangan
dan pengemis (gepeng) merupakan salah satu dampak negatif pembangunan,
khususnya pembangunan perkotaan. Keberhasilan percepatan pembangunan di wilayah
perkotaan dan sebaliknya keterlambatan pembangunan di wilayah pedesaan
mengundang arus migrasi desa-kota yang antara lain memunculkan gepeng karena
sulitnya pemukiman dan pekerjaan di wilayah perkotaan dan pedesaan. Dampak
tersebut membuat masalah ini menjadi sangat sulit untuk dihindari. Disini
terjadi semacam hubungan sebab-akibat, yaitu, ramainya gelandangan dan pengemis
ini terjadi karena tingginya angka pembangunan di kota, namun didesa sendiri
sangat lambat bahkan tidak ada, yang menyebabkan masyarakat miskin pergi ke
kota dan pada akhirnya menjadi gelandangan dan pengemis.
Dengan
berkembangnya gepeng maka diduga akan memberi peluang munculnya gangguan
keamanan dan ketertiban, yang pada akhirnya akan menganggu stabilitas sehingga
pembangunan akan terganggu, serta cita-cita nasional tidak dapat diwujudkan.
Jelaslah diperlukan usaha-usaha penanggulangan gepeng tersebut. Ini terjadi
karena gelandangan dan pengemis ini pada hakikatnya erat terkait dengan masalah
ketertiban dan keamanan di daerah perkotaan.
Berdasarkan
data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian
Sosial, tercatat pada tahun 2008, jumlah gelandangan mencapai 25.169 orang dan
jumlah pengemis mencapai 35.057 orang. Data yang dikutip memang masih perlu
ditanyakan kevaliditasannya, mengingat pendataan pada kelompok ini relatif
sulit karena mobilitas mereka yang tinggi. Sementara itu, berdasarkan data yang
diperoleh dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial, tercatat
pada tahun 2010, jumlah gelandangan mencapai 25.662 orang, jumlah pengemis
mencapai 175.478 orang.
Data
yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya, mengingat
pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka yang tinggi.
Dapat dipastikan angka ini seperti fenomena puncak gunung es (tips of iceberg)
di mana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih tinggi. Angka gelandangan dan
pengemis juga diperkirakan terus naik, mengingat daya tarik kota yang semakin
kuat bagi orang-orang desa dan semakin susahnya mencari lapangan pekerjaan di
desa.
Berbagai
laporan menunjukkan bagaimana pemerintah kota, sebagai contohnya Jakarta, telah
mengeluarkan berbagai peraturan daerah, seperti Perda DKI No. 11 Tahun 1988
tentang ketertiban umum, dan Perda DKI No. 8 Tahun 2007 yang melarang orang
untuk menggelandang, mengemis dan melakukan aktivitas yang mengganggu
ketertiban di jalan, termasuk larangan membeli pedagang asongan dan memberi
sedekah pada pengemis di jalanan di Jakarta. Pemerintah DKI juga telah
mengadakan kerjasama lintas sektoral yang melibatkan berbagai instansi seperti
Tramtib, Kepolisian, maupun Dinas Sosial melalui operasi yustisi dalam
penanganan gelandangan, untuk selanjutnya mendapatkan pelayanan dan
rehabilitasi sosial di panti-panti pemerintah. Namun demikian, permasalahan
gelandangan dan pengemis masih tetap merebak di kota Jakarta dan kota-kota
lainnya.
Tampaknya
gepeng tetap menjadi masalah dari tahun ke tahun, baik bagi wilayah penerima
(perkotaan) maupun bagi wilayah pengirim (pedesaan) walaupun telah diusahakan
penanggulangannya secara terpadu di wilayah penerima dan pengirim. Setiap saat
pasti ada sejumlah gepeng yang kena razia dan dikembalikan ke daerah asal
setelah melalui pembinaan.
Penanggulangan
gepeng akan mampu mewujudkan stabilitas nasional, khususnya stabilitas dalam
bidang pertahanan dan keamanan sehingga diperlukan suatu studi yang mampu
menggambarkan secara utuh.
1.1.2.
TUJUAN
Tujuan
pembuatan makalah ini adalah sebagai UAS mata kuliah Analisi Masalah Sosial di
STKS bandung.
BAB II
URAIAN
2.1. URAIAN
2.1.1.
PENGERTIAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS
1.
Menurut
Departemen Sosial R.I (1992), gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam
keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat
setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di
wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. “Pengemis” adalah
orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan
berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang.
2.
Menurut
PP No. 31 Tahun 1980, Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan
tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta
tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta hidup
mengembara ditempat umum. Sedangkan Pengemis adalah orang-orang yang
mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara
dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain.
3.
Ali,
dkk,. (1990) menyatakan bahwa gelandangan berasal dari gelandang yang berarti
selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Mengutip pendapat Wirosardjono maka
Ali, dkk., (1990) juga menyatakan bahwagelandangan merupakan lapisan sosial,
ekonomi dan budaya paling bawah dalam stratifikasimasyarakat kota. Dengan
strata demikian maka gelandangan merupakan orang-orang yang tidak mempunyai
tempat tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap atau layak, berkeliaran di
dalam kota, makan-minum serta tidur di sembarang tempat.
4.
Menurut
Muthalib dan Sudjarwo dalam Ali, dkk., (1990) diberikan tiga gambaran umum
gelandangan, yaitu (1) sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh
masyaratnya, (2) orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, dan (3)
orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan.
5.
Istilah
gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau
tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada
umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba
nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan
yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang.
Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di
sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 :
143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam
kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan
pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington &
Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru
menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.
Dengan
mengutip definisi operasional Sensus Penduduk maka gelandangan terbatas pada
mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, atau tempat tinggal
tetapnya tidak berada pada wilayah pencacahan. Karena wilayah pencacahan telah
habis membagi tempat hunian rumah tinggal yang lazim maka yang dimaksud dengan
gelandangan dalam hal ini adalah orang-orang yang bermukim pada daerah daerah
bukan tempat tinggal tetapi merupakan konsentrasi hunian orang-orang seperti di
bawah jembatan, kuburan, pinggiran sungai, emper took, sepanjang rel kereta
api, taman, pasar, dan konsentrasi hunian gelandangan yang lain.
Pengertian
gelandangan tersebut memberikan pengertian bahwa mereka termasuk golongan yang
mempunyai kedudukan lebih terhormat daripada pengemis. Gelandangan pada umumnya
mempunyai pekerjaan tetapi tidak memiliki tempat tinggal yang tetap
(berpindah-pindah). Sebaliknya pengemis hanya mengharapkan belas kasihan orang
lain serta tidak tertutup kemungkinan golongan ini mempunyai tempat tinggal
yang tetap.
Dengan
beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Gelandangan adalah
orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan kehidupan normal yang
layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan
pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum
serta mengganggu Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan. Sedangkan Pengemis
adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka
umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan dari orang
lain serta mengganggu ketertiban umum.
2.1.2.
CIRI-CIRI GELANDANGAN DAN PENGEMIS
Ciri-ciri dari
gepeng (gelandangan dan pengemis) yaitu :
1.
Tidak
memiliki tempat tinggal.
Kebanyakan
dari gepeng dan pengemis ini tidak memiliki tempat hunian atau tempat tinggal.
Mereka biasa mengembara di tempat umum. Tidak memiliki tempat tinggal yang
layak huni, seperti di bawah kolong jembatan, rel kereta api, gubuk liar di
sepanjang sungai, emper toko dan lain-lain
2.
Hidup
di bawah garis kemiskinan.
Para
gepeng tidak memiliki penghasilan tetap yang bisa menjamin untuk kehidupan
mereka ke depan bahkan untuk sehari-hari mereka harus mengemis atau memulung
untuk membeli makanan untuk kehidupannya.
3.
Hidup
dengan penuh ketidakpastian.
Para
gepeng hidup mengelandang dan mengemis di setiap harinya. Kondisi ini sangat
memprihatikan karena jika mereka sakit mereka tidak bisa mendapat jaminan
sosial seperti yang dimiliki oleh pegawai negeri yaitu ASKES untuk berobat dan
lain lain.
4.
Memakai
baju yang compang camping.
Gepeng
biasanya tidak pernah menggunakan baju yang rapi atau berdasi melainkan baju
yang kumal dan dekil.
5.
Tidak
memiliki pekerjaan tetap yang layak, seperti pencari puntungrokok, penarik
grobak.
6.
Tuna
etika, dalam arti saling tukar-menukar istri atau suami, kumpulkebo atau
komersialisasi istri dan lain-lainnya.
7.
Meminta-minta
di tempat umum. Seperti terminal bus, stasiunkereta api, di rumah-rumah atau
ditoko-toko.
8.
Meminta-minta
dengan cara berpura-pura atau sedikit memaksa, disertai dengan tutur kata yang
manis dan ibah.
Namun secara
spesifik, Karakteristik Gepeng dapat dibagi menjadi :
·
Karakteristik
Gelandangan :
1.
Anak
sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun, tinggal di sembarang
tempat dan hidup mengembara atau menggelandang di tempat-tempat umum, biasanya
di kota-kota besar.
2.
Tidak
mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku kehidupan bebas/liar,
terlepas dari norma kehidupan masyarakat pada umumnya.
3.
Tidak
mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil sisa makanan atau
barang bekas.
·
Karakteristik
Pengemis :
1.
Anak
sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun.
2.
Meminta-minta
di rumah-rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan (lampu lalu lintas),
pasar, tempat ibadah dan tempat umum lainnya.
3.
Bertingkah
laku untuk mendapatkan belas kasihan ; berpura-pura sakit, merintih dan
kadang-kadang mendoakan dengan bacaan-bacaan ayat suci, sumbangan untuk
organisasi tertentu.
4.
Biasanya
mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur dengan penduduk pada
umumnya.
Menurut Soetjipto
Wirosardjono mengatakan ciri-ciri dasar yang melekat pada kelompok
masyarakat yang dikatagorikan gelandangan adalah:”mempunyai lingkungan
pergaulan, norma dan aturan tersendiri yang berbedadengan lapisan masyarakat
yang lainnya, tidak memliki tempat tinggal, pekerjaandan pendapatan yang layak
dan wajar menurut yang berlaku memiliki sub kultur khas yang mengikat
masyarakat tersebut
2.1.3.
KLASIFIKASI GELANDANGAN DAN PENGEMIS
Masalah
gelandangan dan pengemis masuk dalam beberapa klasifikasi masalah-masalah social,
diantaranya adalah :
1.
Masalah
Sosial Patologis
2.
Masalah
Sosial kontemporer-modern
3.
Masalah
Sosial manifest
2.1.4.
ANALISIS PENYEBAB
Permasalahan
sosial gelandangan dan pengemis merupakan akumulasi dan interaksi dari berbagai permasalahan
seperti hal hal kemiskinan, pendidikan rendah, minimnya keterampilan kerja yang
dimiliki, lingkungan, sosial budaya, kesehatan dan lain sebagaianya. Masalah
ini merupakan salah satu Masalah Sosial Strategis, karena dapat menyebabkan
beberapa masalah lainnya dan juga bersifat penyakit di masyarakat.
Ada 3 pokok penyebab permasalahan dari
masalah Gelandangan dan Pengemis ini yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Urbanisasi
dan pembangunan wilayah yang timpang
Hal ini adalah sebuah hasil negative
dari pembangunan yang sangat pesat di daerah perkotaan. Masyarakat desa pada
umumnya tertarik dengan kehidupan modern kota yang sangat memukau tanpa melihat
sisi jeleknya. Mereka biasanya termotivasi dengan pekerjaan dengan gaji yang
tinggi di kota tanpa melihat potensi yang terbatas dalam dirinya. berdasarkan
kemajuan tersebut yang menyebabkan masyarakat desa menuju kota-kota besar.
Mereka yang menjadi kalah saing dengan penduduk kota yang bisa bersaing dengan
kemajuan tersebut, putus asa, malu pulang ke kampong halaman, akhirnya gelandangan
dan pengemis di kota-kota besar lainnya.
Dalam pembangunan masyarakat di
wilayah pedesaan sering dijadikan objek atau konsekuensi dari pembangunan,
padahal sebelum melakukan perencanaan dan pembanguanan ada hal-hal yang harus
dilalui untuk menghasilkan perencanaan dan pembanguan yang efektif dan berguna.
Konsekuensi pembangunan itu memposisikan masyarakat sebagai objek pembangunan
dan menganggap masyarakat akan beradaptasi sendiri terhadap perubahan-perubahan
setelah pembangunan. Padahal hal tersebut sangat fatal akibatnya terhadap kaum
bawah.
2.
Kemiskinan
Kemiskinan
juga merupakan factor penting dalam penyebab bertambah banyaknya Gelandangan
dan Pengemis. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, bahwa pada September 2011, Jumlah Penduduk Miskin
Indonesia Mencapai 29,89 Juta Orang. Walaupun dari tahun ketahun berkurang,
namun tetap saja angka ini sangat berpotensi angka menjadi angka Gelandangan
dan Pengemis di Indonesia.
3.
Kebijakan
pemerintah
Kebijakan-kebijakan
pemerintah juga merupakan factor-faktor penyebab dari masalah Gelandangan dan
Pengemis ini. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga terkadang
dianggap tidak pro dengan rakyat. Berkaitan dengan Gelandangan dan Pengemis ada
banyak peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan tentang ini, namun lebih
berorientasi pada larangan-larangan mengemis ditempat umum, tapi bukan mengenai
upaya-upaya dalam menangani masalah Gelandangan dan Pengemis ini. Pemerintah
hanya menganggap masalah sosial bersumber dari individunya. Konsekuensi ini
dapat membebaskan pemerintah dari "tuduhan" sebagai sumber masalah.
Karena faktor penyebabnya adalah individual, maka upaya pemecahan masalah akan
lebih banyak bersifat kuratif.
Ketiga
faktor itu hanyalah embrio awal yang melahirkan gepeng, namun dalam
perkembangannya faktor lahirnya gepeng selain faktor di atas, masalah gepeng
juga berhubungan dengan budaya yang lahir dari komunitas yang lama terbentuk. Atau
merupakan masalah yang dating dari akibat keturunan yang tidak dapat berkembang
dalam menangani masalah-masalah utama dalam hidupnya.
Bisa
diartikan juga bahwa Gepeng (Gelandangan dan Pengemis) telah berkembang menjadi
sebuah gaya hidup (life style) bagi orang-orang miskin yang tidak
berpendidikan, tidak memiliki life skill, dan orang-orang yang, orang-orang
broken home, orang cacat dan pengangguran. Cara instan tersebut merupakan
bentuk adaptasi masyarakat miskin terhadap konsekuensi pembangunan yang
melahirkan masalah sosial.
Beberapa
ahli mengungkapkan beberapa factor penyebab terjadinya Gepeng tersebut, yaitu
factor internal dan eksternal, berikut adalah :
1.
Factor
internal
Maksudnya
adalah factor internal dan keluarga yang menyebabkan terjadinya Gepeng ini.
Factor-faktor tersebut adalah :
·
kemiskinan
individu dan keluarga; yang mencakup penguasaan lahan yang terbatas dan tidak
produktif, keterbatasan penguasaan aset produktif, keterbatasan penguasaan
modal usaha;
·
umur;
·
rendahnya
tingkat pendidikan formal;
·
ijin
orang tua;
·
rendahnya
tingkat ketrampilan (“life skill”) untuk kegiatan produktif;
·
sikap
mental.
2.
Factor
eksternal
·
kondisi
hidrologis;
·
kondisi
pertanian;
·
kondisi
prasarana dan sarana fisik;
·
akses
terhadap informasi dan modal usaha;
·
kondisi
permisif masyarakat di kota;
·
kelemahan
Faktor-faktor penyebab ini dapat terjadi
secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling mempengaruhi antara
satu faktor dengan faktor yang lainnya.
Factor-faktor lain juga yang ikut
menyebabkan terjadinya masalah ini adalah :
1.
Masalah
kemiskinan.
Kemiskinan
menyebabkan seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal dan
menjangkau pelayanan umum sehingga tidak dapat mengembangkan kehidupan pribadi
maupun keluarga secara layak.
2.
Masalah
Pendidikan.
Pada
umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis relatif rendah sehingga
menjadi kendala untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
3.
Masalah
keterampilan kerja.
Pada
umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan
tuntutan pasar kerja.
4.
Masalah
sosial budaya.
Ada
beberapa faktor sosial budaya yang mengakibatkan seseorang menjadi gelandangan
dan pengemis.
5.
Rendahnya
harga diri.
Rendahnya
harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan tidak dimiliki rasa malu
untuk minta-minta.
6.
Sikap
pasrah pada nasib.
Mareka
menganggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai gelandangan dan
pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakukan perubahan.
7.
Kebebasan
dan kesenangan hidup menggelandang.
2.1.5.
DAMPAK MASALAH GELANDANGAN DAN
PENGEMIS
1.
Terhadap
Individu
·
Tidak
mendapat akses pendidikan
·
Tidak
dapat mengakses pelayanan kesehatan
·
Tidak
dapat bersosialisasi dengan masyarakat luas
·
Tidak
dapat memberikan aspirasi dalam demokrasi karena tidak memiliki KTP
·
Tidak
dapat menerima bantuan dari pemerintah
2.
Terhadap
Keluarga
·
Kepala
keluarga tidak dapat memenuhi perannya sebagai kepala keluarga
·
Terjadi
ketimpangan dalam keluarga
·
Timbul
masalah baru dalam keluarga seperti kriminalitas
·
Tidak
dapat memutuskan rantai kemiskinan keluarga karena anak tidak bias mendapat
fasilitas pendidikan
3.
Terhadap
Masyarakat
·
Gelandangan
dan pengemis pada umumnya tidak memiliki tempat tinggal tetap, tinggal di
wilayah yang sebanarnya dilarang dijadika tepat tinggal, seperti : taman taman,
bawah jembatan dan pingiran kali. Oleh karna itu mereka di kota besar sangat
mengangu ketertiban umum, ketenangan masyrakat dan kebersihan serta keindahan
kota.
·
Gelandangan
dan pengemis yang hidupnya berkeliaran di jalan jalan dan tempat umum,
kebnayakan tidak memiliki kartu identitas (KTP/KK) yang tercatat di kelurahan
(RT/RW) setempat dan sebagian besar dari mereka hidup bersama sebagai suami
istri tampa ikatan perkawinan yang sah.
·
Maraknya
gelandangan dan pengemis di suatu wilayah dapat menimbulkan kerawanan sosial
mengagu keamanan dan ketertiban di wilayah tersebut.
2.1.6.
PROGRAM PELAYANAN/PENANGANAN
GELANDANGAN DAN PENGEMIS
Ada banyak program-program yang
diberikan pemerintah dalam menangani permasalahan Gelandangan dan pengemis ini.
Kebijakan-kebijakan dari pemerintah dalam membatasi Gelandangan dan pengemis
untuk berada di tempat-tempat umum juga merupakan salah satu programnya. Namun
pada umumnya program ini tidak dapat membuat efek jera terhadap para
Gelandangan dan pengemis.
Masyarakat menginginkan satu program
yang benar-benar pro dengan rakyat dalam mengentaskan masalah ini, juga
bagaimana untuk dapat mengembangkan masyarakat miskin untuk dapat hidup
sejahtera agar masalah Gelandangan dan Pengemis ini tidak berulang.
Berikut adalah beberapa program yang
telah ada, antara lain :
1.
Panti
Merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis dengan menyediakan sarana tempat tinggal dalam satu atap yang dihuni oleh beberapa keluarga.
Merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis dengan menyediakan sarana tempat tinggal dalam satu atap yang dihuni oleh beberapa keluarga.
2.
Liposos
Lingkungan Pondok Sosial (Liposos) merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis yang lebih mengedepankan sistim hidup bersama didalam lingkungan sosial sebagaimana layaknya kehidupan masyarakat pada umumnya.
Lingkungan Pondok Sosial (Liposos) merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis yang lebih mengedepankan sistim hidup bersama didalam lingkungan sosial sebagaimana layaknya kehidupan masyarakat pada umumnya.
3.
Transit
home
Merupakan
bentuk penanganan gelandangan dan pengemis yang bersifat sementara sebelum
mendapatkan pemukiman tetap di tempat yang telah disediakan.
4.
Pemukiman
Merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis dengan menyediakan tempat tinggal yang permanen di lokasi tertentu.
Merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis dengan menyediakan tempat tinggal yang permanen di lokasi tertentu.
5.
Transmigrasi
Merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis dengan menyediakan fasilitas tempat tinggal baru di lokasi lain terutama di luar pulau Jawa.
Merupakan bentuk penanganan gelandangan dan pengemis dengan menyediakan fasilitas tempat tinggal baru di lokasi lain terutama di luar pulau Jawa.
Dan beberapa program kebijakan
pemerintah seperti larangan mengemis di tempat umum, operasi Yustisi di Jakarta
bagi orang-orang yang tidak memiliki KTP yang berpotensi menjadi Gelandangan
dan Pengemis, dan program-program lainnya. Program lain adalah dalam bentuk
penguatan ekonomi keluarga dan peningkatan pendidikan.
2.1.7.
POTENSI DAN SUMBER
Ada banyak potensi dan sumber yang
dapat dikembangkan dari Gelandangan dan Pengemis. Potensi terbesar yang dapat
digali adalah adanya niat dari Gelandangan dan Pengemis itu sendiri untuk
berhenti dan mencoba untuk sejahtera. Potensi ini merupakan awal dari Pekerja
Sosial untuk bisa menangani masalah ini bersama dengan Pemerintah.
Berikut beberapa potensi yang dapat
digali dalam diri Gelandangan dan Pengemis serta sumber-sumber yang dapat
digunakan :
1.
Keinginan
untuk sejahtera
Sebagian
besar dari Gelandangan dan Pengemis memiliki pikiran untuk hidup sejahtera.
Kendalai selama ini adalah keran merka tidak dapat mengakses sumber-sumber tersebut.
Dalam hal ini, Gelandangan dan Pengemis dapat diberikan pemahaman bahwa ketika
mereka berusaha, maka pasti meeka berhasil, bukan dengan hanya
bermalas-malasan.
2.
Adanya
niat untuk bekerja keras
Gelandangan
dan Pengemis pada dasaranya memiliki niat untuk bekerja yang tinggi, namum
mereka terbentur pada skill mereka dalam bekerja dan kurangnya pendidikan.
Gelandangan dan Pengemis ingin pekerjaan yang layak namuan itu mustahil karena
semakin banyaknya mesin-mesin sehingga tenaga manusia semakin tidak dipergunakan.
Padahal mereka ingin bekerja apa saja.
3.
Rasa
persatuan yang tinggi sesama gelandangan dan pengemis
Sesama
Gelandangan dan Pengemis memiliki ikatan seperti rasa saling
tolong-menolongsehingga dapat digunakan untuk mengkoordinasi sesama Gelandangan
dan Pengemis agar dapat dikembangkan dalam bentuk kelompok.
4.
Keinginan
untuk kembali ke kampung halaman
Kebanyakan
dari Gelandangan dan pengemis memiliki keinginan untuk pulang kembali ke
kampung halaman. Masalah tersebut terbentur pada masalah keuagan untuk pulang
ke kampung, padahal desa sangat kaya akan sumber yang dapat dikembangkan.
Ketika ada peluang untuk potensi ini, mereka dapat dipulangkan ke kampung
sehingga gelandangan dan pengemis dapat berkurang.
5.
Bakat
yang ada pada diri Gelandangan dan Pengemis
Bakat
seperti menyanyi bermain music dan sebagainya dapat diasah dari klien, dari
bakat-bakat tersebut bias ditemukan hal-hal yang dapat menguatkan kehidupan
klien.
6.
Relasi
dengan keluarga
Hubungan
antara keluarga besar klien lainnya juga penting untuk menemukan sumber yang
dapat membantu klien dalam meningkatkan hidupnya.
Ada beberapa system sumber yang dapat
dihubungkan dengan gelandangan dan pengemis, seperti :
1.
Dinas
Sosial
Untuk
menyelesaikan masalah-masalah tersebut diperlukan dinas social agar dapat
memberikan penyuluhan dan melaksanakan program-program pemerintah dalam
menangani maslah tersebut.
2.
Dinas
perhubungan
Dinas
perhubungan juga harus jelas dalam penanganan isu-isu perpindahan masyarakat
desa ke kota yang semakin membludak. Dinas perhubungan sebaiknya membatasi
orang dari desa yang tidak jelas statusnya menuju kota besar. Dinas perhubungan
juga dapat digunakan untuk memulangkan sejumlah gelandangan dan pengemis
tersebut kembali ke kampung halamannya.
3.
BPS
BPS
harusnya memberikan data yang actual tentang kemiskinan agar dapat diprediksi
dan potensi bertambahnya Gelandangan dan Pengemis, juga agar masyarakat miskin
tersebut dapat menerima bantuan-bantuan dari pemerintah.
4.
Dinas
Pendidikan
Dinas
pendidikan diharapkan memberikan kesempatan untuk kepada masyarakat miskin
terutama Gelandangan dan Pengemis untuk dapat mengakses pendidikan agar dapat
mendapatkan pendidikan yang layak untuk meningkatkan kesejahteraannya.
2.1.8.
PENDEKATAN DAN PEMECAHAN MASALAH
Solusi dari
permasalahan gelandangan dan pengemis yaitu dengan cara rehabilitasi sosial.
Rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis yaitu proses pelayanan dan
rehabilitasi sosial yang terorganisasi dan terencana, meliputi usaha-usaha
pembinaan fisik, bimbingan mental sosial, pemberian keterampilan dan pelatihan
kerja untuk penyaluran ke tengah-tengah masyarakat.
Selain itu,
tujuan dari proses
rehabilitasi adalah membuat seorang menyadari potensi-potensinya dan selanjutnya
melalui sarana dan
prasarana yang diberikan
kepadanya berusaha untuk mewujudkan atau mengembangakan potensi-potensi tersebut secara maksimal untuk
dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal. Menurut Nitimihardja
(2004) Rehabilitasi sosial merupakan upaya yang bertujuan untuk
mengintegrasikan seseorang yang mengalami masalah sosial ke dalam kehidupan
masyarakat di mana dia berada.
Pengintegrasian tersebut dapat dilakukan melalui upaya peningkatan penyesuaian diri, baik terhadap keluarga,
komunitas maupun pekerjaannya. Berdasarkan
model pelayanan maka pelayanan
rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis dibagi 3 (tiga) model (Waluyo,
2002 : 35) yaitu :
1.
Sistem
non Panti,
model
ini memberikan pelayanan di luar panti/tidak ditampung dalam asrama. Para klien
mendapat bimbingan sosial, keterampilan dan bantuan dalam
masyarakatnya masing-masing. Sistem ini sangat terbuka dan memberikan kebebasan
para klien untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya, namun kontrol dan
monitoring terhadap semua kegiatan rehabilitasi sulit dilakukan, termasuk
kontrol terhadap penggunaan bantuan stimulus dan bantuan modal lainnya.
2.
Sistem
Panti
merupakan
suatu model pelayanan kesejahteraan sosial secara langsung. Pelayanan yang diberikan relatif
intensif karena penyandang masalah kesejahteraan sosial ditempatkan dalam suatu
rumah/panti sehingga secara teknis mudah
melakukan bimbingan, pembinaan, pemecahan masalah juga dilakukan di dalam panti
dan klien terisolasi dalam panti dan tidak dapat berinteraksi sosial secara
bebas dengan masyarakat sekitarnya.
3.
Sistem
Lingkungan Pondok Sosial (liposos)
sistem
pembinaan penyandang masalah kesejahteran
sosial yang bersifat konfrehensif, integratif, dimana dalam kesatuan lingkungan sosial. Model sistem ini
mencoba menjawab kelemahan dan kekurangan yang ada dalam kedua sistem
sebelumnya (sistem panti dan non panti). Dalam sistem ini para klien diberi
kebebasan untuk berinteraksi dan berelasi dengan sesama klien yang tinggal di
lingkungan panti maupun dalam masyarakat di luar panti, meskipun mereka tetap ditempatkan
dalam unit-unit asrama di lingkungan panti. Sasaran klien dalam sistem ini
biasanya suatu keluarga yang terdiri ayah, ibu, anak yang disebut keluarga
binaan sosial (KBS). Sistem ini dibentuk berdasarkan keputusan Menteri Sosial
No. 7 tahun 1984 tentang Pola Operasional rehabilitasi gelandangan dan
pengemis.
Dalam kegiatan
rehabilitasi memiliki tujuan, fungsi dan yaitu :
1.
Tujuan
dari pelayanan rehabilitasi sosial pada gelandangan dan pengemis yaitu :
·
Gelandangan
dan pengemis mampu merubah cara hidup dan cara mendapatkan penghasilan yang
sesuai dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat.
·
Gelandangan
dan pengemis dapat dijangkau dan mau mengikuti program pelayanan dan
rehabilitas sosial.
·
Gelandangan
dan penemis mampu menjalankan fungsi dan peran sosialnya di masyarakat secara
wajar.
2.
Fungsi
:
·
Menumbuhkan
kesadaran gelandangan dan pengemis tentang pentingnya program pelayanan dan
rehabilitasi sosial.
·
Membantu
gelandangan dan pengemis untuk mampu melakukan kegiatan-kegitan yang berkenaan
dengan kehidupan sehari-hari.
·
Membantu
gelandangan dan pengemis agar mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.
·
Membantu
gelandangan dan pengemis unuk mengembangkan potensinya.
·
Membantu
gelandangan dan pengemis untuk berprilaku normatif.
Dalam penanganan masalah Gelandangan
dan Pengemis ini ada banyak pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan, seperti
:
1.
Pendekatan
Agama
Pendekatan
ini bersifat individual dalam arti sangat berhubungan dengan keyakinan
masing-masing orang terhadap ajaran agamanya . Semakin orang yakin akan ajaran
agamanya, semakin pendekatan ini effektif kegunaannya. Melalui pendekatan agama
diajarkan bahwa masalah sosial timbul bila terjadi pelanggaran terhadap
norma-norma agamanya. Pendekatan ini lebih terasa keeffektifannya dalam
kerangka preventif dengan cara penanaman nilai nilai agama sejak dini dari tiap
keluarga dalam masyarakat. Jadi agama diharapakan dapat menjadi filter dalam
kehidupan bermasyarakat dan mencegah terjadinya pelanggaran atas norma-norma.
2.
Pendekatan
Hukum
Pendekatan
hukum biasanya ia berlaku bagi semua anggota masyarakat dimana ia bertempat
tinggal dan hukum tersebut diberlakukan. Pendekatan ini sanksinya lebih jelas
karena mengacu pada peraturan atau norma yang disahkan, misalnya hukuman bagi
pelaku kejahatan membunuh dihukum penjara sekian tahun, pelaku kejahatan
korupsi dihukum sekian tahun dst. Dengan demikian pendekatan hukum memandang
bahwa masalah sosial terjadi. Pendekatan ini bisa besifat preventif dalam arti
masalah sosial dapat dicegah melalui upaya sosialisasi norma-norma hukum yang
berlaku dalam masyarakat maupun bersifat kuratif atau rehabilitatif dalam arti
terhadap pelaku pelanggar norma hukum akan diberikan sanksi tertentu dan
diadakan pembinaan agar dia tidak lagi melakukan pelanggaran-pelanggaran
terhadap norma hukum. Mereka yang berperan dalam pendekatan ini antara lain
adalah para penegak hukum maupun aparat pemerintah yang berwajib.
BAB III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
Perilaku
menggepeng erat kaitannya dengan urbanisasi, dan urbanisasi erat kaitannya
dengan adanya kesenjangan pembangunan wilayah pedesaan dan perkotaan. Semasih
adanya kesenjangan ini maka urbanisasi akan sulit dibendung dan akan memberi
peluang munculnya kegiatan sector informal seperti kegiatan menggepeng.
Pada
hakikatnya tidak ada norma social yang mengatur perilaku menggepeng. Kegiatan
menggepeng umumnya dilakukan ibu-ibu yang disertai dengan anak-anaknya. Mereka
umumnya relative muda dan termasuk dalam tenaga kerja yang produktif.
Pendidikan
keluarga gepeng pada umumnya rendah. Ini disebabkan karena susahnya masyarakat
miskin dalam mengakses pendidikan, juga termasuk karena anak usia sekolah
terpaksa menggelandang dan mengemis untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akhirnya
kebodohan dan kemiskinan pun seakan menjadi sebuah turunan pada keluarga
tersebut.
Adanya peran
aktif dari berbagai kalangan dalam hal ini dalam pengentasan kemiskinan dan
juga masalah Gelandangan dan pengemis ini. Ada beberapa langkan yang mungkin
dapat diterapkan antara lain adalah tetap menertibkan para Gelandangan-gelandangan
dan Pengemis tersebut dan berusaha untuk mengembalikan ke kampung halamannya.
Berikutnya adalah mengembangkan usaha-usaha dari desa asal agar tidak terulang
permasalahan tersebut, atau dalam kata lain tidak membuat semacam ketimpangan
pembangunan antara kota dan desa.
pemenuhan
kebutuhan spiritual untuk memelihara sikap idealis yang telah ada di masyarakat.
3.2.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Marpuji, dkk., (1990). Gelandangan
di Kertasura, dalam Monografi 3.Lembaga Penelian Universitas Muhammadiyah.
Surakarta
Indonesia, Republik (1992). Peraturan Pemerintah
No. 31 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, dalam Himpunan
Peraturan Perundang-undangan Bidang Tugas Rehabilitasi Sosial. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar